Bapak-Bapak Ghibah: Ketika Kopi, Rokok, dan Cerita Tetangga Bersatu

Kalau kita bicara soal “ghibah”, biasanya yang langsung kepikiran adalah ibu-ibu arisan, emak-emak komplek, atau geng rumpi di tukang sayur. Tapi tunggu dulu. Jangan salah kira. Dalam dunia perghibahan nasional, ada satu spesies yang diam-diam punya kemampuan ghibah setara, bahkan kadang lebih niat: bapak-bapak.

Ya, kamu nggak salah baca. Bapak-bapak ghibah adalah fenomena sosial yang sering terlewatkan, padahal eksistensinya sangat nyata. Mereka muncul dalam berbagai bentuk dan tempat: di pos ronda, di warung kopi, di bengkel pinggir jalan, atau bahkan di grup WhatsApp alumni.

Ghibah? Nggak Ngaku, Tapi Jalan Terus

Berbeda dari ibu-ibu yang mungkin lebih ekspresif, bapak-bapak biasanya tampil santai. Mereka nggak akan ngaku kalau sedang ghibah. Buat mereka, yang penting obrolan ngalir, kopi masih hangat, rokok ada di tangan, dan topik-topik “sosial lokal” tetap bergulir.

Ciri khas dari ghibah bapak-bapak itu adalah kalimat pembuka yang khas seperti:

  • “Eh, bukan ngomongin orang ya, tapi…”

  • “Gue sih nggak ikut campur, tapi ya aneh aja…”

  • “Katanya sih, gue juga kurang tau pasti…”

Setelah itu? Muncul lah semua kisah tentang tetangga yang motornya baru, padahal katanya nganggur. Atau soal si A yang mendadak sering keluar kota, padahal nggak kelihatan kerja. Bahkan kadang pembahasan bisa sampai ke urusan rumah tangga orang lain, yang entah info valid dari mana.

Ritual Ghibah ala Bapak

Fenomena bapak-bapak ghibah ini biasanya berlangsung dalam ritual-ritual khusus yang seolah nggak tertulis tapi dipatuhi bersama. Misalnya:

  • Ngopi sore di teras atau warung
    Ini adalah “markas” utama. Kadang niat awalnya cuma ngopi bentar, tapi tiba-tiba bisa sampai dua jam karena obrolan ngalir ke mana-mana.

  • Pos ronda
    Tempat ini bukan cuma buat keamanan lingkungan. Tapi juga jadi pusat informasi, pusat analisa sosial, dan tempat brainstorming gosip terbaru.

  • Grup WhatsApp alumni atau RT
    Di sinilah ghibah digital berkembang. Mulai dari share berita hoaks, sampai membahas kelakuan orang lain dengan emoji 🙄 dan “wkwkwk”.

Topik Favorit: Dari Politik Sampai Parkiran

Bapak-bapak ghibah punya cakupan topik yang sangat luas. Nggak kalah dari talkshow pagi. Mulai dari isu lokal sampai skandal nasional bisa dibahas sambil makan gorengan.

Topik-topik favorit biasanya meliputi:

  • Harga sembako dan teori konspirasinya

  • Kelakuan tetangga baru yang "nggak jelas kerjanya"

  • Anak-anak muda zaman sekarang yang "kurang sopan"

  • Kenapa jalan depan rumah rusak terus

  • Wacana calon ketua RT berikutnya

Semua dibahas dengan gaya setengah serius, setengah ngawur. Tapi itulah seninya. Dalam dunia bapak-bapak ghibah, logika bukanlah prioritas. Yang penting: seru dan bisa ditertawakan bareng.

Hiburan yang Tidak Diakui

Buat sebagian besar bapak-bapak, aktivitas ini bukan tentang menjelekkan orang. Mereka bahkan nggak sadar kalau sedang ghibah. Buat mereka, ini adalah hiburan murah meriah. Nggak perlu Netflix, cukup satu gelas kopi, satu batang rokok, dan satu dua orang teman seide.

Ghibah ini adalah bentuk bonding, pelampiasan stres, dan ajang update “berita lokal”. Kadang, dari sinilah justru mereka saling bantu: setelah ngerumpi, besoknya malah bantuin benerin pagar tetangga yang sempat jadi bahan omongan.

Jadi Salah? Nggak Selalu

Perlu digarisbawahi, tidak semua ghibah itu negatif. Kadang, apa yang mereka omongin bisa jadi bentuk kepedulian yang dibungkus dengan gaya bercanda. Bahkan dalam beberapa kasus, obrolan mereka menghasilkan solusi nyata buat masalah lingkungan, seperti patungan buat lampu jalan, atau bareng-bareng negur tetangga yang parkir sembarangan.

Tapi tentu, kalau sudah menyangkut fitnah atau terlalu bawa-bawa urusan pribadi, ya tetap harus dikasih batas. Ghibah itu boleh lucu, tapi harus tetap beretika.


Penutup: Tertawa Dulu, Introspeksi Kemudian

Fenomena bapak-bapak ghibah memang lucu, unik, dan kadang bikin geleng-geleng kepala. Tapi di balik obrolan-obrolan ringan itu, kita bisa belajar satu hal: manusia memang suka cerita. Entah itu cerita baik, aneh, atau gosip—semua adalah bagian dari cara kita terhubung.

Jadi, kalau suatu hari kamu lihat sekumpulan bapak-bapak duduk di warung sambil cerita ngalor-ngidul, jangan langsung nge-judge. Siapa tahu mereka sedang mengurai stres, atau malah sedang bikin rencana memperbaiki jalan komplek.

Toh, di zaman yang serba sibuk ini, waktu untuk duduk, ngobrol, dan tertawa bareng adalah kemewahan tersendiri. Mungkin itu juga salah satu bentuk keakraban: ghibah yang dibungkus solidaritas.

Comments